Pengertian,Sumber dan Asas - Asas Hukum Acara Perdata
Dalam kehidupan sehari - sehari, manusia sebagai makhluk sosial sering melakukan perbuatan hukum dengan orang lain seperti jual beli,sewa - menyewa,tukar - menukar dan sebagainya. Hubungan yang lahir dari perbuatan hukum itu tidak selamanya berakhir dengan baik, terkadang tidak jarang berakhir dengan konflik atau sengketa yang berujung di pengadilan. Untuk menuntut hak - hak yang lahir dari hubungan hukum itu diperlukan tata cara dan pengaturan agar tuntutan hak tersebut berjalan sesuai dengan hukum. Hukum yang mengatur hal itu biasa disebut hukum acara perdata.
Bahkan hukum acara perdata tidak saja mengatur bagaimana sengketa perdata harus diselesaikan melalui jalur Litigasi (pengadilan) Non Litigasi (diluar pengadilan). Namun hukum acara perdata juga menyiapkan bagaimana tata cara untuk memperoleh hak dan kepastian hukum dalam keadaan tidak bersengketa atau mencegah terjadinya sengketa dikemudian hari,sehingga seseorang mengajukan "permohonan" hak kepengadilan.
A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA.
1. Menurut Wirjono Prodjodikoro
Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata. Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formal, yaitu semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak - hak dan kewajiban - kewajiban perdata sebagaimana yang telah diatur dalam hukum acara perdata materiel.
2. Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
Hukum acara perdata adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel. Hukum acara perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan daripada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah "eigenrichting" atau tindakan menghakimi sendiri. Sementara peradilan dibagi menjadi dua yaitu peradilan "Volunter" yang disebut juga peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sesungguhnya, dan peradilan "Contentieus" atau peradilan sesungguhnya.
B. SUMBER HUKUM ACARA PERDATA.
Berbicara tentang sumber hukum, maka di dalam ilmu hukum dikenal beberapa sumber hukum dalam arti formal yaitu :
- Undang - Undang
- Perjanjian (antar negara)
- Kebiasaan
- Doktrin
- Yurisprudensi
Berpijak dari sumber hukum diatas,maka dalam hukum acara perdata dikenal sumber hukum yang menjadi bahan acuan,bukan saja yang terbatas pada kategori sumber hukum diatas, tetapi dijumpai juga sumber hukum yang tidak dikenal dalam sumber hukum diatas. Sumber hukum acara perdata adalah tempat dimana ditemukan peraturan hukum acara perdata yang berlaku di negera indonesia yaitu :
1. Herziene Inlandsch Reglemen (HIR)
HIR adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah pulau jawa dan madura. Hukum acara perdata dalam HIR dituangkan pada Pasal 115 - 245 yang termuat dalam BAB IX, serta beberapa Pasal yang tersebar antara lain Pasal 372 - 394. Pasal 115 s/d Pasal 117 HIR tidak berlaku lagu sehubungan dihapusnya pengadilan kabupaten oleh UU No. 1 Darurat (Drt) Tahun 1951, dan peraturan mengenai banding dalam Pasal 188 - 194 HIR juga tidak berlaku lagi dengan adanya Undang - Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Ulangan dijawa dan Madura.
2. Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (RBg.)
Reglement Op De Burgelijke Rechtsvordering (Rv) adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian dan bentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama terjadi ketidaksesuaian dengan daerah Luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg . RBg adalah hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah - daerah luar pulau jawa dan madura. RBg terdiri dari lima Bab dan Bab Tujuh ratus dua puluh tiga pasal yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya. Dan hukum acara pidananya tidak berlaku lagi dengan adanya Undang - Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
3. Burgelijk Wetboek (BW)
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka hukum acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UU Darurat tersebut. Yang dimaksud oleh UU Nomor 1 Tahun 1951 tersebut adalah Het Herziene Indoneisch Reglement (HIR) untuk daerah jawa dan madura dan RBg untuk luar jawa dan madura. BW (Kitab Undang - Undang hukum Perdata) meskipun sebagai kodifikasi hukum perdata materiel, namun juga memuat hukum acara perdata,terutama dalam Buku IV tentang pembuktian dan Kedaluwarsa (Pasal 1865 - 1993).
4. Wetboek Van Koophandel (WvK)
Wetboek Van Koophandel (Kitab undang - Undang Dagang),meskipun juga sebagai kodifikasi hukum perdata materiel, namun di dalamnya ada beberapa pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata. Misalnya (Pasal 7,8,9,22,23,32,255,258,272,273,274 dan 275.)
5. Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004
Undang - undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah undang - undang tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban pembayaran utang yang memuat ketentuan - ketentuan hukum acara perdata khusus untuk kasus kepailitan.
6. Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004
Undang - undang Nomor 4 Tahun 2004 adalah undang - undang tentang kekuasaan kehakiman yang berlaku sejak diundangkan tanggal 15 Januari 2004.
7. Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang - undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah undang - undang tentang Perkawinan, memuat ketentuan - ketentuan hukum acara perdata khusus untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan serta menyelesaikan perkara - perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan perceraian yang terdapat dalam Undang - undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
8. Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1985
Undang - undang Nomor 14 Tahun 1985 adalah undang - undang tentang Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985, yang kemudian mengalami perubahan pertama dengan Undang - Undang Nomor 5 Tahun 2004, kemudian diubah lagi dengan Perubahan kedua Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2009, tetapi hukum acara perdata yang ada di dalam pasal tersebut tidak mengalami perubahan.
9. Undang - Undang Nomor 2 Tahun 1986.
Undang - Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang - Undang tentang Peradilan Umum, berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Ketentuan dalam undang - undang tersebut mengatur mengenai kedudukan, susunan dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
10. Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2003.
Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah undang - undang tentang Advokat berlaku sejak dkundangkan tanggal 5 April 2003.
C. ASAS -- ASAS HUKUM ACARA PERDATA.
1. Hakim Bersifat Menunggu
Hakim bersifat menunggu maksudnya adalah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan (Pasal 118 HIR, 142 RBg). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya "Index Ne Procedat Ex Officio". Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
2. Hakim Bersikap Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan ke pada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentutkan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (Pasal 4 Ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (Secendum Allegata Iudicare). Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Asas ini disebut "Verhandlungsmaxime". Jadi pengertian pasif ini yaitu bahwa hakim tidak menentukan luas daripada pokok sengketa.
3. Bersifat Terbuka Dipersidangan.
Sidang pemeriksaan dipengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang artinya bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan dipersidangan. Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak - hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair (Pasal 19 Ayat (1) dan 20 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Apabila tidak dibuka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi hukum.
4. Mendengar Kedua Belah Pihak (Penggugat dan Tergugat Melalui Surat - Surat).
Dalam Pasal 5 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama - sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing - masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama - sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam Pasal 4 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama - sama diperhatikan atas perlakuan yang sama dan adil serta masing - masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Asas kedua belah pihak harus didengar yang mana lebih dikenal dengan asas "Audi et Alterampartem" atau "Eines Mannes Redeist Keines Mannes Rede, Man Soll Sie Horen Alle Beide". Bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
5. Putusan Harus Disertai Alasan - Alasan.
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan - alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 184 Ayat (1), 319 HIR, 618 RBg.). Alasan - alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim daripada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan - alasan itulah, maka putusan yang mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.
6. Beracara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 2 Ayat (4) UU. No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 121 Ayat (4), 182,183 HIR, serta Pasal 145 Ayat (4), 192 - 194 RBg). Biaya perkara meliputi biaya kepaniteraaan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Biaya tersebut juga dikeluarkan untuk pengacara atas bantuan yang dimintakan kepadanya. Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara cuma - cuma (Pro deo) dengan mendapat izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 23 HIR, 273 RBg).
7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak memwajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya kepada orang lain, sehingga pemeriksaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian hakim tetap wajin memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.
8. Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan (Pasal 2 Ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009).
Sederhana, maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit - belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka ragam penafsiran sehingga kurang menjami adanya kepastian hukum. Cepat artinya menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidal berlarut - larut yang terkadang harus diajukan oleh ahli waris. Biaya ringan maksudnya adalah biaya serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara yang tinggi membuat orang enggan beracara dipengadilan.
Demikian artikel dari kami, Semoga Bermanfaat, Jangan Lupa Share dan Komentar anda, Terima Kasih.
Sumber Hukum :
- Herziene Inlandsch Reglemen (HIR)
- Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (RBg.)
- Burgelijk Wetboek (BW)
- Wetboek Van Koophandel (WvK)
- Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Undang - Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban pembayaran utang.
- Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
- Undang - Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
- Undang - Undang Nomor 2 Tahun Tentang Peradilan Umum
- Undang - Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.